ANALASIS YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK ATAS MEREK YANG BELUM MEMPEROLEH PELINDUNGAN MEREK

 

Muhammad Alfii1, Markoni2, Helvis3, Joko Widarto4

Universitas Esa Unggul

[email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak:

Merek telah menjadi komoditas utama dalam perputaran roda ekonomi masyarakat khusunya di wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam ketentuan pasal 41 ayat (1) dan ayat 8 disebutkan bahwa suatu merek dapat dialihkan salah satu atas dasar perjanjian dan merek dapat dialihkan sejak Merek tersebut masih dalam proses permohonan yang artinya Merek tersebut belum mendapatkan Hak Atas Mereknya atau Merek tersebut tidak memiliki kekuatan di mata Hukum. Metode penelitian yang dipakai yaitu penelitian yuridis normatif dengan menggunakan studi pustaka yang mana dilakukan dengan menelaah semua undang-undang, regulasi, buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian yang akan diteliti, Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualtitatif yang berlandaskan pada filsafat positivisme. Tujuan penelitian yaitu Menganalisis serta memaparkan tentang aspek hukum peralihan Hak Atas Merek ditinjau dari Hukum Perjanjian dan Menganalisis Akibat Hukum terhadap Peralihan Hak Atas Merek yang Belum Mendapatkan Perlindungan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Akibat hukum terhadap Peralihan Hak Atas Merek Yang Belum Memperoleh Pelindungan Merek yaitu bahwa merek yang belum memperoleh Hak Eksklusifitasnya tidak dapat dialihkan karena bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tentang perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

 

Kata kunci: Hak Eksklusif, Perlindungan Merek, Undang-Undang Merek, Hukum Perjanjian, Peralihan Hak dan Akibat Hukum.

 

Abstract:

Brands have become the main commodity in the economic cycle of society, especially in the territory of the Republic of Indonesia. In the provisions of Article 41 paragraph (1) and paragraph 8, it is stated that a brand can be transferred on the basis of an agreement and a brand can be transferred since the mark is still in the application process, which means that the mark has not yet received rights to the mark or the mark has no power in the eyes of Law. The research method used is normative juridical research using literature study which is carried out by reviewing all laws, regulations, books and literature related to the research to be researched. The research approach used is qualitative research which is based on philosophy positivism. The aim of the research is to analyze and explain the legal aspects of the transfer of rights to trademarks in terms of contract law and to analyze the legal consequences of the transfer of rights to trademarks that have not yet received protection. The research results show that the legal consequences of the transfer of rights to brands that have not received brand protection are that brands that have not received exclusivity rights cannot be transferred because they conflict with the provisions of agreements regulated in the Civil Code.

 

Keywords: Exclusive Rights, Trademark Protection, Trademark Law, Contract Law, Transfer of Rights and Legal Consequences.

 

Corresponding: Muhammad Alfii

E-mail: [email protected]

Description: https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

PENDAHULUAN

Dalam beberapa dekade terakhir ini Merek telah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia (Nurohman, 2018). Di manapun kita berada saat ini Merek akan melekat pada suatu produk barang dan produk pelayanan/jasa. Baik peralatan yang kita pakai, pakaian yang kita gunakan, makanan yang kita makan hingga moda tranportasi yang kita pilih, hampir semua hal itu melekat suatu tanda sebagai suatu Merek guna membedakan satu dengan yang lainnya. Artinya Merek memliki peranan penting dalam perilaku masyarakat saat ini.

Berdasarkan sejarah perkembangannya, Hukum Merek mengatur tentang persaingan curang (unfair competition) serta pemalsuan barang agar konsumen mengenali asal suatu barang (Ferdian, 2019). Prinsip awal pelindungan Merek adalah tidak seorang pun dapat berhak menjual barangnya kepada masyarakat seolah-olah barang pengusaha lainnya yaitu menggunakan tanda yang sama persis dengan milik pihak lain yang sudah dikenal oleh masyarakat.

World Intellectual Property Organization (WIPO) dalam laman resminya memberikan definisi Merek sebagai berikut:

A trademark is a sign capable of distinguishing the goods or services of one enterprise from those of other enterprises. Trademarks are protected by intellectual property rights.

Sedangkan dalam perjanjian internasional, definisi Merek tertuang dalam Perjanjian TRIPs (TRIPs Aggreement) dalam Pasal 15 ayat 1 yaitu:

Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of other undertakings, shall be capable of constituting a trademark. Such signs, in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours as well as any combination of such signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, Members may make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members may require, as a conditionof registration, that signs be visually perceptible.

�Setiap tanda atau kombinasi tanda yang dapat membedakan barang atau jasa dari perusahaan satu dengan perusahaan lain harus dapat dapat dijadikan merek (Asmara, Rahayu, & Bintang, 2019). Tanda yang dimaksud, khususnya kata, termasuk nama personal, huruf-huruf, unsur figuratif dan kombinasi warna dan juga kombinasi tanda tersebut, harus memenuhi syarat pendaftaran merek. Jika suatu tanda tidak membedakan barang atau jasa yang berkaitan, negara anggota dapat mendaftarkan tanda tersebut berdasarkan daya pembeda yang didapatkan karena penggunaan. Negara anggota dapat menambahkan sebagai syarat pendaftaran bahwa tanda tersebut harus tampak secara visual.�

Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis di dalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa (Nomor, 20AD).

Proses suatu merek untuk bisa terdaftar di Indonesia harus terlebih dahulu melalui beberapa proses tahapan, yaitu pemeriksaan formalitas, pengumuman, dan pemeriksaan substantif. Pada proses pemeriksaan substantif, suatu permohonan merek diperiksa mengenai apakah merek yang dimohonkan pendaftarannya memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang telah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa sejenis. Apabila permohonan merek memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan merek lain yang telah terdaftar, maka DJKI akan menolak permohonan mereknya.

Hak atas Merek sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dan Hak atas Merek tersebut berlaku pelindungannya setelah merek tersebut terdaftar.

Suatu Merek akan mendapatkan pelindungannya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis setelah merek terdaftar. Namun, di dalam pasal 41 ayat 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis merek dapat dilakukan pengalihan Hak atas Merek selama dalam proses Permohonan. Dapat dilihat bahwa suatu Merek mendapatkan suatu Hak pelindungannya ketika Merek tersebut terdaftar, ketika suatu Merek dialihkan mereknya kepada pihak lain di dalam masa permohonan yang mana telah jelas di dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis bahwa suatu Hak Atas Merek diberikan setelah Merek terdaftar lalu apa yang Hak yang dialihkan atas suatu Merek ketika Merek tersebut belum memliki Haknya?

Adanya ketidakpastian hukum pada pasal 41 ayat 8 di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ini dapat menimbulkan kebingungan serta dapat melahirkan adanya Tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat dan hilangnya kepastian Hukum serta akibat Hukum yang ditimbulkan yang menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam sistem Hukum Merek (Mahmud, 2017).

Berdasarkan penjabaran latar belakang tersebut maka terdapat hal-hal yang akan Penulis Bahas, yakni sebagai berikut:

1.       Bagaimana Pelindungan Hukum Peralihan Hak Atas Merek dan proses pendaftaran Merek ditinjau dari Hukum Perjanjian?

2.       Bagaimana Akibat Hukum atas Peralihan Hak Atas Merek yang Belum Mendapatkan Perlindungan?

3.        

METODE PENELITIAN

Dalam penulisan penelitia ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.� Bahan hukum primer tersebut mencakup dokumen-dokumen resmi yang salah satunya adalah Peraturan Perundang-undangan, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal dan lain sebagainya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan topik yang dibahas pada penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, internet dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualtitatif yang merupakan pendekatan penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang ilmiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik penggabungan dengan triangguasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Merek merupakan hukum benda yang tidak berwujud karena yang menjadi objek hak milik adalah sebuah hak kepemilikan atas suatu hasil karya manusia Haknya bukan hanya barang yang dihasilkan, Karena itu merek merupakan benda tak berwujud. Merek merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang dapat didefinisikan sebagai sebuah hak kepemilikan terhadap suatu hasil karya manusia yang lahir dari buah pemikiran dan kemampuan yang khas dari seseorang (Fauzi, Sumiarsih, Adriman, Rusliadi, & Hasibuan, 2020). Hasil karya ini dimiliki oleh penghasil karya Buah pemikiran manusia ini memiliki nilai tertentu sesuai dengan kualitas yang dihasilkan yang bisa jadi sangat bernilai atau biasa-biasa saja.

Kepemilikan yang dimiliki oleh pembuat karya adalah berupa hak yang dapat beralih berdasarkan perbuatan-perbuatan hukum yang dibenarkan undang-undang. Jadi yang dimiliki adalah hak atas hasil buah pemikiran, bukan hanya benda yang dihasilkan.� Jika benda tersebut diperbanyak maka tetap pemilik haknya adalah pembuat karya jika kepemilikan tidak dialihkan. Hak ini tidak ada wujudnya, berupa pengakuan atau mengakui atas sesuatu hasil.� Karenanya merek dikategorikan sebagai benda tidak berwujud. Sebagai benda tak berwujud, merek dapat dimiliki oleh seseorang. Kepemilikan dalam hal ini adalah hak atas merek, bukan hanya terhadap produknya.� Dimungkinkan satu merek berasal dari produsen yang berbeda.

Pengertian Hak Milik sebagaimana telah dituangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata didalam pasal 570 yaitu:

�Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang- undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan (Meliala, 2018).�

Bahwa pemilik hak tersebut dapat menggunakan benda yang merupakan kepemilikannya dengan penuh selama dalam batas tidak melanggara ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan, tidak mengganggu hak milik orang lain dan memiliki kemungkinan hak milik yang dimiliki seseorang dapat dicabut haknya demi kepentingan umum dan akan diberikan ganti kerugian yang pantas seusai dengan perundang-undangan.

Pemilik merek terdaftar juga berhak mengalihkan hak atas mereknya kepada orang lain. Pengalihan hak atas merek tersebut, harus dicatatkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual agar pengalihan hak atas merek tersebut berakibat hukum pada pihak ketiga artinya pengalihan hak atas merek tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan mewujudkan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (6) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Pengalihan Hak Atas Merek sebagaimana telah dituangkan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dalam Pasal 41 ayat (1) bahwa pengalihan Hak Atas Merek dapat terjadi karena:

a.       Pewarisan

b.      Wasiat

c.       Wakaf

d.      Hibah

e.       Perjanjian atau

f.        Sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang.

 

Beralihnya Hak Atas suatu Merek artinya berpindah kepemilikan suatu Merek secara penuh dari Pihak satu kepada pihak lain karena sebab pewarisan, wasiat, wakaf, hibah perjanjian atau sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang. Dalam pembahasan tesis ini penulis akan menekankan peralihan Hak Atas Merek yang disebabkan oleh Perjanjian.

Dalam Pasal Pasal 41 ayat 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dijelaskan bahwa suatu Merek dalam dialihkan Hak sejak dalam proses Permohonan Pendaftaran Merek.� Jika kita amati lebih cermat dalam ketentuan Pasal 41 Ayat 8 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 ini bahwa merek dalam dialihkan Hak kepemilikan sejak dalam masa Permohonan untuk pelindungan Mereknya. sedangkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis bahwa Hak Atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut Terdaftar (dalam hal ini yang dapat memberikan wewenang atas pelindungan suatu Merek adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia).

Artinya apabila terdapat suatu merek yang belum terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual maka pemilik Merek tersebut belum memiliki Hak Atas Mereknya, karena suatu Merek mendapatkan pelindungan Hukumnnya setelah Merek tersebut terdaftar. Selama proses permohonan pendaftaran pelindungan Merek, Merek tersebut belum memiliki pelindungan Hukum. Dan jika pemohon pendaftaran merek yang ditolak tidak mengajukan banding sesuai dengan waktu yang telah ditentukan maka akan dianggap oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual penolakan atas mereknya dapat diterima.

Suatu peralihan hak atas merek dapat dilakukan dari pemohon merek yang dalam proses permohonan pendaftaran merek kepada pihak lain dapat terjadi karena salah satunya atas dasar perjanjian sebagiman diatur dalam Pasal 41 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Apabila membahas peralihan hak atas merek terjadi karena perjanjian, tidak terlepas membahas terkait hukum perjanjian khususnya membahas terkait syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata antara lain:

1.       Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2.       Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3.       Suatu hal tertentu

4.       Suatu sebab yang halal.

 

Suatu peralihan yang didasarkan pada perjanjian haruslah merujuk kepada syarat sahnya suatu perjanjian, dan apabila dari 4 (empat) syarat diatas terdapat salah satu yang tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Perjanjian dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi unsur-unsur nomor 1 yaitu Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan nomor 2 yaitu Kecakapan untuk membuat suatu perikatan serta Perjanjian batal demi hukum apabila tidak memenuhi unsur-unsur nomor 3 yaitu tidak terpenuhinya suatu hal tertentu dan nomor 4 yaitu tidak terpenuhinya sebab yang halal.

Dalam suatu peralihan hak atas merek dapat beralih Ketika dalam proses pendaftaran merek sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi. Namun dalam proses permohonan pendaftaran merek, Pemeriksa merek dapat memberikan keputusan didaftar atau ditolak. Apabila permohonan pendaftaran merek tersebut ditolak, maka unsur yang nomor 3 yaitu suatu hal tertentu tidak terpenuhi karena hak atau benda yang diserahkan tidak dapat ditentukan secara pasti dan tidak memenuhi unsur-unsur yang menjadi objek perjanjian sebagaimana yang dimaksud oleh J. Satrio yaitu:

a.       Dapat diperdagangkan

b.      Dapat ditentukan jenisnya

c.       Dapat dinilai dengan uang, dan

d.      Memungkinkan untuk dilakukan atau dilaksanakan.

 

Hak atas merek tidak dapat ditentukan secara pasti apabila proses pendaftaran merek tersebut ditolak oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual karena hak atas merek tersebut tidak ada sehingga tidak memenuhi salah satu diantara empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu suatu hal yang tertentu sehingga pembeli merek tidak mempunyai pelindungan hukum atas merek tersebut.

Peralihan Hak Atas Merek akan menjadi sah apabila dikemudian hari Merek tersebut telah terdaftar karena benda yang dapat dijadikan sebagai obyek suatu perjanjian adalah benda yang memiliki kejelasan secara hak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1332 KUHPerdata dan memenuhi syarat syahnya perjanjian angka 3 yaitu suatu hal tertentu sehingga penerima atau pembeli merek tersebut diberikan Hak Ekslusif atas Merek sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta dapat menggunakan Merek tersebut baik untuk dirinya sendiri atau mengizinkan orang lain untuk menggunakannya sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Sudah menjadi tugas negara untuk dapat menjamin perlindungan hukum secara menyeluruh tanpa kecuali terhadap warga negaranya, baik anak yang baru lahir ataupun orang tua yang sudah lanjut usia. Perlindungan yang diberikan oleh negara adalah jaminan yang diberikan oleh negara kepada warganya guna terwujudnya keamanan, kesejahteraan, keadila dan kepastian dalam hukum guna membangun kehidupan yang baik bagi warga negara dan negara.

Menurut penelitian perlindungan hukum pada dasarnya adalah perlindungan yang diberikan oleh perangkat hukum yang berkenaan dengan subjek hukum (Afifah, 2018). Kemudian, peneliti juga menjelaskan bahwa memberikan penganyoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum (Afifah, 2018).

Pelindungan hukum terkait merek sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Hak Atas Merek dapat diperoleh Ketika Merek tersebut telah terdaftar (Suryadi, 2019). Artinya selama merek tersebut belum selesai atau masih dalam masa permohonan pendaftaran di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merek tersebut belumlah memiliki Hak Atas Mereknya.

�� Merek yang masih dalam masa permohonan pendaftaran merek, pemohon merek dapat mengalihkan hak atas mereknya kepada pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Sedangkan Hak Atas Merek yang dapat beralih atau dialihkan karena:

a.       Pewarisan

b.      Wasiat

c.       Wakaf

d.      Hibah

e.       perjanjian atau

f.        sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Apabila pengalihan hak atas merek dapat dilakukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek, sementara hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal tersebut, dapat menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak yang melakukan perjanjian dengan adanya Pasal Pasal 41 ayat 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hokum (Tamam, 2018). Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, akibat memiliki arti sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil suatu peristiwa, persyaratan, atau keadaan yang mendahuluinya (Mulyani et al., 2023).

Mengenai akibat hukum sendiri dimulai dengan adanya hubungan hukum, peristiwa hukum, dan objek hukum. Menurut peneliti dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum yaitu adalah akibat hukum lahir karena adanya hubungan hukum karena didalam hubungan hukum ada hak dan kewajiban (Nurhayati, 2020). Peristiwа аtаu kejаdiаn yаng dаpаt menimbulkаn аkibаt hukum аntаrа para pihаk-pihаk yаng mempunyаi hubungаn hukum, peristiwа hukum ini аdа dаlаm berbаgаi segi hukum, bаik hukum publik аtаupun private.

Dalam kaitannya dengan pengalihan Hak Atas Merek yang belum memperoleh Hak Atas Merek nya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis maka pasti akan menimbulkan akibat hukum karena akibat hukum tersebut lahir apabila terdapat hubungan hukum antar para pihak.

Akibat hukum yang ditimbulkan karena peristiwa hukum berupa pengalihan Hak Atas Merek dalam proses permohonan pendaftaran merek sebagaimana termaktub dalam Pasal 41 Ayat (8) Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan indikasi Geografis adalah batal demi hukum apabila permohonan pendaftaran mereknya ditolak karena pengalihan Hak Atas Merek tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam poin 3 yaitu tidak memenuhi suatu hal tertentu.

Frasa �batal demi hukum� merupakan frasa khas bidang hukum yang bermakna �tidak berlaku� tidak sah menurut hukum. Dalam pengertian umum, kata batal (saja) sudah cukup menjelaskan bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah, rupanya frasa �batal demi hukum� lebih memberikan kekuatan sebab tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum, bukan hanya tidak berlaku menurut pertimbangan subjektif sesorang atau menurut kesusilaan/ kepatutan. Batal demi hukum berarti bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku atau tidak sah karena bedasarkan hukum (atau dalam arti sempit, bedasarkan peraturan perundang-undangan) memang begitu adanya. Dengan demikian, �batal demi hukum� menunjukan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya suatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi.

Berdasarkan hal tersebut, batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan sehingga para pihak yang melakukan pengalihan hak atas merek dalam proses pendaftaran merek berdasarkan perjanjian dan permohonan pendaftaran merek tersebut ditolak maka peralihan hak atas merek tersebut dianggap tidak pernah ada pengalihan hak atas merek (Setiawan, 2021).�����

Peralihan hak atas merek dianggap oleh hukum tidak pernah ada pengalihan hak atas merek, salah satu pihak (penerima pengalihan hak) terjadi kerugian baik secara materiil maupun immateriil yaitu:

1.       Kerugian Materiil

Kerugian Materil yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita oleh Pemohon (Djatmiko, Setyaningrum, & Zainudin, 2022).� Kerugian materiil merupakan kerugian yang dapat dihitung dengan angka, biasanya berkaitan dengan uang. Pemegang merek yang dibatalkan tidak bisa menggunakan mereknya lagi, akibatnya pemegang merek mengalami kerugian yang sangat besar, kerugian ini bisa berupa modal dalam membangun sebuah merek melalui promosi-promosi atau iklan, kemudian barang yang sedang di produksi dengan menggunakan merek tersebut harus dihentikan, dan barang yang beredar di pasar dengan merek tersebut harus ditarik peredarannya, sehingga selain kehilangan modal untuk membangun suatu merek, pemegang merek juga kehilangan pendapatan ataupun keuntungan yang seharusnya didapat (Potential loss). Kerugian materiil yang dapat terjadi adalah Ketika merek yang dialihkan yang sedang dalam masa permohonan apabila merek yang dialihkan ternyata ditolak oleh pihak yang berwenang (dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM) maka Merek yang dialihkan tidak dapat memberikan berupa uang yang telah dikelurkan atas pembelian merek tersebut.

2.       Kerugian Immaterill

Kerugian Immateril yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima oleh pemohon di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh Pemohon di kemudian hari (Apriani, 2021).� Kerugian immateril biasa disebut dengan kerugian moril merupakan kerugian yang berasal dari usaha pemegang merek untuk membangun merek tersebut. Merek yang semula belum memiliki reputasi kemudian Kerugian yang dialami Pemegang Merek yang dibatalkan dibangun dengan penuh usaha dan kesabaran sehingga mendapatkan citra yang baik bagi konsumen hilang oleh karena merek itu telah dibatalkan, sehingga pemegang merek tersebut harus membangun merek baru dari awal lagi tanpa reputasi. Kerugian immateriil yang dapat terjadi adalah Ketika merek yang dialihkan yang sedang dalam masa permohonan apabila merek yang dialihkan ternyata ditolak oleh pihak yang berwenang (dalam hal ini Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM) adalah tidak mendapatkan hak eksklusif atas merek yang telah dialihkan sehingga merek tersebut tidak dapat digunakan kembali guna kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa (Cantika, 2018).

 

KESIMPULAN

Bahwa peralihan Hak Atas Merek akan menjadi sah apabila Merek tersebut telah terdaftar sehingga penerima peralihan hak atas merek memliki legal standing sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1332 KUHPerdata adalah bahwa benda yang dapat dijadikan sebagai obyek suatu perjanjian adalah benda yang memliki kejelasan secara hak dan mendapat pelindungan hukum atas kepemilikan kebendaan tersebut dan memiliki daya jual atas benda yang dijadikan sebagai obyek perjanjian atau bernilai ekonomis. Apabila terjadi suatu peralihan Hak atas Merek dimana permohonan pendaftaran merek tersebut (Merek yang ingin dialihkan hak) ditolak maka sesusai dengan ketentuan pasal 1332 KUHPerdata perjanjian tersebut batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat tentang suatu hal tertentu.

Akibat Hukum yang dapat terjadi apabila mereknya ditolak, maka peralihan Hak Atas Merek yang sedang dalam permohonan adalah batal demi hukum yang menimbulkan kerugian bagi pembeli merek karena tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 1332 jo. Pasal 1320 KUHPerdata sehingga pembeli Merek dimaksud tidak dapat melakukan Upaya hukum baik secara perdata maupun pidana karena perjanjian atas pengalihan hak atas merek tersebut sejak awal dianggap tidak ada karena telah batal demi hukum dikarenakan obyek yang diperjanjikan tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Jika merek yang dialihkan (sedang dalam masa permohonan) ternyata merek tersebut terdaftar maka, peralihan Hak Atas Merek yang diperjanjikan menjadi sah dan penerima atau pembeli merek tersebut diberikan Hak Ekslusif atas Merek sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis serta dapat menggunakan Merek tersebut baik untuk dirinya sendiri atau mengizinkan orang lain untuk menggunakannya sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Afifah, Wiwik. (2018). Eksistensi Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Rumah Tangga Di Indonesia. DiH Jurnal Ilmu Hukum, 14(27), 53�67.

 

Apriani, Titin. (2021). Konsep Ganti Rugi Dalam Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Serta Sistem Pengaturannya Dalam Kuh Perdata. Ganec Swara, 15(1), 929�934.

 

Asmara, Andre, Rahayu, Sri Walny, & Bintang, Sanusi. (2019). Studi Kasus Penerapan Prinsip Pendaftaran First To File Pada Pembatalan Merek Cap Mawar. Syiah Kuala Law Journal, 3(2), 184�201.

 

Cantika, Delila Pritaria. (2018). Pembatalan Hak Merek Yang Telah Dijadikan Jaminan Fidusia. Jurnal Yuridis, 5(1), 1�22.

 

Djatmiko, Andreas Andrie, Setyaningrum, Fury, & Zainudin, Rifana. (2022). Implementasi Bentuk Ganti Rugi Menurut Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) Indonesia. Nomos: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, 2(1), 1�10.

 

Fauzi, Muhammad, Sumiarsih, Eni, Adriman, Adriman, Rusliadi, Rusliadi, & Hasibuan, Ika Fitria. (2020). Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan pembuatan ecobrick sebagai upaya mengurangi sampah plastik di Kecamatan Bunga Raya. Riau Journal of Empowerment, 3(2), 87�96.

 

Ferdian, Muhammad. (2019). Kedudukan Hukum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Terhadap Persaingan Usaha Tidak Jujur. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 9(2).

 

Mahmud, Marzuki Peter. (2017). Penelitian Hukum edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

 

Meliala, Djaja S. (2018). Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Nuansa Aulia.

 

Mulyani, Sri Mulyani, Joko, Dr Joko Sriwidodo, SH, M. H., Basuki, Dr, Yuhelson, Dr Yuhelson, & SH, M. H. (2023). Perlindungan Hukum Pengelolaan Hak Atas Tanah Yang Bersertifikat Terkait Perubahan Peruntukan Menjadi Konservasi Kehutanan. Jurnal DIKMAS, 3(1), 221�232.

 

Nomor, Undang Undang. (20AD). tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

 

Nurhayati, Yati. (2020). BUKU AJAR �Pengantar Ilmu Hukum.� Nusa Media.

 

Nurohman, Yulfan Arif. (2018). Theoritical Review: Teori Merek Halal. Among Makarti, 10(2).

 

Setiawan, I. Ketut Oka. (2021). Hukum perikatan. Bumi Aksara.

 

Suryadi, Asep. (2019). Pembatalan Merek Terdaftar Dihubungkan Dengan Asas Kepastian Hukum Bagi Pemilik Merek. Aktualita (Jurnal Hukum), 2(1).

 

Tamam, Ahmad Badrut. (2018). Konsep Subyek Hukum Dalam Hukum Islam, Hukum Positif dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Al-Musthofa: Journal of Sharia Economics, 1(2), 107�117.